Sabtu, 14 November 2009

Anak Anda Ranking 1

Anak ranking 1, selalu menjadi dambaan setiap orang tua, tetapi apakah itu penting. Menurut pengalaman saya, ranking satu tidaklah penting saat ini. Karena dinamika kehidupan saat ini tidaklah sesederhana itu. Tetapi proses kreatiflah yang agak penting bagi anak. Bukan saya mengatakan bahwa anak tidak boleh ranking 1, tetapi tidaklah harus menjadi ranking 1. Cobalah memeberikan stimulus yang tepat buat anak-anak kita bahwa apa yang mereka sukai, apa yang mereka kuasai. Baru kemudian kita benar-benar memperhatikan hal-hal tersebut. Memang tidaklah mudah mencari tau kesukaan, kegemaran apalagi bakat anak-anak kita. Yah cermat-cermatnya kita sebagai orang tua saja.

Di dalam perkembangan dunia yang fantastis ini, anak-anak tidak harus dituntut untuk menjadi pintar, tetapi kreatif. Kreatif bukanlah kreatif seperti seniman ataupun pekerja kreatif lainnya. Kreatif dalam artian kata, bisa menyesuaikan keadaan, menyesuaikan apa yang kita sukai, kita kuasai sehingga hal tersebut bisa menjadi keunggulan yang menghasilkan buat kita ataupun anak-anak kita.

Berikut adalah artikel mengenai juara karbitan, seperti juga anak-anak karbitan. Menjadi juara karbitan bukanlah juara sejati. Pasti akan redup jika saatnya nanti. Sedangkan juara sejati tidaklah harus juara 1, tetapi dia adalah anak-anak atau orang-orang yang benar-benar bisa memanfaatkan, menyesuaikan keadaan dan kondisi saat ini menjadi keadaan atau kondisi yang menghasilkan sesuatu.


Bila bersekolah hanya mencari ranking 1

Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dewasa ini banyak orang tua telah memperlihatkan partisipasi mereka dalam memajukan pendidikan atau Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara mendukung pendidikan anak-anak mereka. Pemerintah juga mendukung peningkatan kualitas pendidikan melalui lembaga pendidikan atau sekolah, mulai dari pendidikan rendah sampai pendidikan tinggi, mendirikan sarana pendidikan, merenovasi sekolah yang kurang layak, melatih guru-guru dan aparat pendidik, menyediakan fasilitas dan beasiswa untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Banyak orang tua yang sudah menunjukan kepedulian terhadap kualitas pendidikan. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk memilih sekolah yang berkualitas bagi putra dan putri mereka. Sekolah sekolah berlabel seperti “sekolah unggul, sekolah internasional, sekolah akselerasi, sekolah percontohan, sekolah plus, dan label lain” pasti diserbu dan daftar tunggu untuk tahun berikutnya sudah dicarter, terutama bagi mereka yang berduit dan peduli pula pada pendidikan bermutu.

Orang tua yang anak-anaknya cuma belajar di sekolah biasa-biasa juga mendukung kualitas dan keberhasilan akademik anak-anak mereka. Namun mayoritas dukungan orang tua hanya baru sebatas sugesti. Kalau mereka berjumpa dengan anak-anak yang masih duduk di bangku SD, SMP atau SLTA maka secara spontan akan terucap suatu ekspresi: “Dapat juara berapa kamu di sekolah ? Mengapa kamu tidak juara….?”. Bila pas musim ujian datang maka orang tua juga akan menebarkan simpati dan bertanya, “Dapat angka berapa kamu dalam ujian ?”.

Memang simpati dan empati orang terhadap dukungan semangat dalam mendidik baru sebatas menanyakan apakah ada juara atau menanyakan skor yang diperoleh anak lewat ujian. Ada kalanya orang tua sangat bangga begitu memiliki anak yang yang malas belajar, namun setiap kali ujian selalu memperoleh nilai tinggi, atau tiap kali menerima rapor, sang anak memperoleh ranking satu dalam kelasnya. “Aku punya super bandel, malasnya luar biasa….., tidak pernah belajar, jarang uat PR (Pekerjaan Rumah), tapi kalau setiap semester selalu memperoleh ranking satu dalam rapornya. Kalau ujian nilainya ya selalu 90 atau 100”. Demikian celoteh sang ayah atau sang ibu yang mungkin kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.

Namun apakah bapak dan ibu, sang orang tua yang memiliki konsep pendidikan berorientasi ranking satu atau nilai tinggi semata, sadar dan tahu bagaimana cara mereka (anak anak didik) memperoleh nilai atau ranking yang bagus? Anak-anak cerdas dan rajin, selalu belajar keras, mempunyai hak untuk memperoleh skor tinggi dalam ujian dan juara satu dalam rapor pada akhir semester. Namun para orang tua perlu berfikir dan mencari tahu “kok anak pemalas, sering membolos, malas membuat tugas sekolah, bisa juara satu ?”. Atau ada sekolah dengan anak didik yang suka keluyuran saat jam pelajaran dan guru-guru dalam mengabdi penuh kelesuan, tiba-tiba tercatat sebagai sekolah hebat, karena skornya melejit mengalahkan sekolah yang sudah teruji kualitasnya.

Nilai 100 yang diperoleh anak pemalas pasti diperoleh lewat cara-cara tidak halal, kemungkinan “anak tersebut memang jago dalam mencontek”. Demikian pula tentang sekolah yang kualitasnya lewat kertas bisa disulap lewat rekaya saat ujian dan tipuan-tipuan jitu untuk mencari pamor sekolah yang penuh kepalsuan. Apalagi yang sering terpantau tentang proses penilaian atau proses asessmen yang dilakukan oleh tim penilai hanya berkutat mencatat dan seratus persen mempercaya data yang ada pada selembar kertas di suatu sekolah. Idealnya mereka mengadopsi kinerja penilaian yang sudah valid dan terpecaya.

Semua orang di dunia tahu bahwa Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Jerman dan Cina adalah Negara yang hebat. Namun dalam penempatan ranking negara-negara yang memiliki SDM terbaik, ternyata bukan negara tersebut yang menempati posisi ‘satu, dua, tiga dan empat”. Dalam indicateur du develepoment humain(IDH) atau indikator tingkat SDM negara yang menempati posisi “satu, dua, tiga dan empat, adalah Norwegia , Australia , Kanada dan Swiss”. Penempatan ranking SDM untuk ukuran dunia begitu cermat dan hati-hati (Francisco Vergara dalam Didiot Beatrice (2001). Sementara penempatan ranking yang dilakukan oleh tim penilai untuk sektor pendidikan di negara kita, seringkali membuat kita “tertawa terbahak bahak” dalam arti kadang kala adalah sangat tidak logika, miskin indicator dan tidak reliable.

Suatu ketika ada orang tua murid bertanya tentang apakah anak penulis juara satu di kelas atau tidak. “Maaf, anak-anak tidak terlalu saya tuntut untuk jadi juara, kalau juara itu diperolehnya lewat mencotek, atau karena factor saya memberi hadiah pada bapak dan ibu guru nya di sekolah. Yang penting dalam belajar, orang tua selalu memompakan motivasi, menyediakan fasilitas dan memberikan model tentang belajar dan anak-anak pun sudah terbiasa belajar serta merasakan belajar; membaca dan menukis sebagai kebutuhan primer mereka. Apa gunanya anak juara kelas namun tidak betah membaca, mengeluh kalau disuruh belajar… dikhawatirkan bahwa juaranya diperoleh lewat jalan yang tidak benar, atau sang anak menjadi juara karbitan”

Sekali lagi tentang fenomena mencari ranking dan nilai dalam ujian. Bahwa memperoleh ranking di sekolah sebagian diperoleh dan dilakukan dengan cara-cara gentlement atau penuh tanggung jawab – karena sang siswa memang cerdas, tekun dan disiplin dalam belajar. Namun sebahagian yang lain memperoleh dan berjuang mencari nilai dengan cara culas- merendahkan harga diri. Karena malas belajar hingga tidak mengerti maka terpaksa mencontek, melihat catatan agar nilai ujian tinggi dan supaya bisa juara satu (agar orang tua merasa bangga karena sang anak juara). Sebab kalau tidak juara maka anak akan kena bentak “percuma saja kamu rajin belajar, ikut les itu dan ini namun tidak juara. Lihat si Didi santai santai saja tetapi bisa juara”.

Terlihat bahwa proses perekrutan- atau penerimaan- siswa baru pada banyak sekolah di negeri ini, setiap tahun, betul-betul belum professional. Hanya berdasarkan pada porto folio yang datanya susah untuk dipercaya- rapor penuh dengan nilai kasihan atau nilai pergaulan, skor dan ranking kelas diperoleh lewat perjuangan penuh contekan. Memang sebagian nilai porto folio- nilai ijazah, nilai rapor, nilai UN (ujian nasional) sebagian bisa merefleksikan potensi anak, namun tidak jarang juga merefleksikan penuh kepalsuan atas penyelenggaran pendidikan di sekolah sekolah sebelumnya.

Pada suatu sekolah SMP yang agak favorite terpantau nilai sains dan nilai mata pelajaran sosial anak didik berkisar antara 80 dan 90 (sangat luar biasa). Namun dalam PBM (proses belajar mengajar) telah ditebar kekecewaan demi kekecewaan. Angka tinggi dalam ijazah belum mencerminkan kebodohan anak “Wah bagaimana cara guru guru kamu saat di SD memberi nilai, kok nilai kamu 80, 90 dan 100, dalam kenyataaan kamu sendiri tidak tahu dua tabah dua sekarang alias bloon”. Gerutu seorang guru penuh rasa kesal.

Inilah fenomena di lapangan bahwa agar nilai siswa bisa tinggi, maka guru melatih siswa untuk menyelesaikan soal soal ujian lewat program bimbel (bimbingan belaja). Kalau perlu di datangkan guru yang dianggap berbobot dari luar. Namun ada pula sekolah atau guru merekayasa tempat duduk siswa selama ujian (karena biaya bimbel amat mahal dan bias mencekik leher orang tua) agar mereka bisa saling bekerjasa sama- melegalkan budaya contekan. Inilah sekarang sebuah patologi edukasi (penyakit dalam dunia pendidikan) yaitu melegalkan pembohomgan, melegalkan rekayasa, menilai tidak professional dan mendidik tidak sepenuh hati. Orang tua dan masyarakat mungkin heran bahwa anak atau sekolah yang proses pendidikannya tidak sempurna- biasa biasa saja, tiba tiba prestasinya melejit tinggi. Sang anak kemudian di sanjung atau kepala sekolahnya dan guru guru disebut sebut sukses (walau dalam kepalsuan) dalam mendidik siswa mereka.

Program dan budaya mengejar ranking satu dan ujian untuk mencari nilai tinggi tidak ada salahnya asal dikelola dengan jujur, professional dan bertanggung jawab. Namun Syofyan Djalil, Menteri Negara BUMN pada Kabinet Indonesia Bersatu periode pertama (www.nuonline. com) kurang sependapat. Ia mengatakan bahwa system ranking menciptakan generasi pintar namun anti atas kritikan. Dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih melanggengkan sistem ranking di kelas sehingga para pelajar yang “masuk ranking” tumbuh menjadi manusia yang merasa dirinya pintar, egois dan tidak bisa menerima kritikan.

Di negara kita anak-anak diberi ranking. Akibatnya anak-anak pintar menjadi sangat tidak menarik pribadinya. Akibat sistem ranking ini, para siswa yang juara padahal kemampuannya biasa biasa saja akan merasakan dirinya sebagai “winner” atau jagoan. Anak anak yang sebenarnya pintar tapi karena penilaian tidak reliable- guru kurang fair dalam menilai- membuat mereka sebagai loser” atau pecundang dan kondisi psikologis ini bisa meruntuhkan rasa percaya diri yang sangat penting tersebut.

Produk sistem pendidikan nasional yang menghasilkan anak-anak pintar namun tidak bisa menerima kritik ini telah dirasakan dampaknya oleh sejumlah lembaga pemerintah dan non pemerintah. Sebagai contoh, Sofyan Djalil menyebutkan sejumlah diplomat senior Departemen Luar Negeri RI tentang karakter sejumlah diplomat muda yang sekalipun pintar namun “sangat egois” dan “tidak bisa menerima kritikan”. Kekeliruan lain dari sistem pendidikan kita selama ini adalah kurang berkembangnya kreativitas anak didik.

Kini pemerintah, sekolah dengan unsur gurunya, kepala sekolah, komite sekolah dan para alumni, dan juga masyarakat perlu bahu membahu untuk memantapkan kualitas pendidikan dan membina karakter anak anak didik. Adalah patut untuk berfikir dan meninggalkan konsep pendidikan yang terlalu berorientasi kepada berharap nilai dan ranking tinggi, dan tanpa usaha yang professional. Kemudian sangat layak kalau kita membudayakan belajar dengan memberikan penghargaan pada proses pembelajaran yang matang, meningkatkan manajemen dan penilaian, serta menumbuh kembangkan kreativitas dan kesediann menerima kritikan demi kemajuan. Tentu saja bukan asal kritik yang menyedihkan namun kritikan yang santun dan bijaksana.

(Catatan: Beatrice, Didiot. 2001. L’etat Du Monde: annuaire economique geopolitique mondial. Paris : Editions La Decouverte & Syros .)



Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar